Pemeritah Tegaskan UU Pers Telah Beri Perlindungan Hukum bagi Wartawan
- account_circle Yuda Febrian Silitonga
- calendar_month Senin, 6 Okt 2025
- Penulis: Yuda Febrian Silitonga

Istimewa.
JAKARTA, LENSAIND.COM– Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini beragenda mendengarkan keterangan dari pihak Pemerintah.
Permohonan diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM), yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 8 UU Pers beserta Penjelasannya. Mereka menilai ketentuan tersebut multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan bagi wartawan, khususnya jika dibandingkan dengan perlindungan profesi lain seperti advokat atau jaksa.
Dalil Pemohon dan Sikap Pemerintah
Pasal 8 UU Pers menyatakan bahwa wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Namun, Pemohon berpendapat bahwa Penjelasan pasal yang memaknai perlindungan sebagai jaminan dari pemerintah dan/atau masyarakat, justru mengaburkan mekanisme perlindungan hukum yang jelas. Pemohon juga menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis seperti Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto sebagai bukti ketidakpastian hukum yang timbul.
Menanggapi dalil tersebut, Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Fifi Aleyda Yahya, S.H., selaku perwakilan Pemerintah, menyatakan bahwa dalil Pemohon mengenai sifat multitafsir Pasal 8 UU Pers adalah tidak berdasar.
Fifi menjelaskan bahwa Penjelasan Pasal 8 telah secara tegas merujuk pada “jaminan perlindungan pemerintah dan/atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Menurut Pemerintah, frasa “perlindungan hukum” dalam pasal tersebut harus ditafsirkan dalam kerangka hukum positifyang berlaku dan bersifat open norm (norma terbuka). Sifat norma terbuka ini memungkinkan fleksibilitas implementasi agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan kebutuhan di lapangan.
“UU Pers secara nyata telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan… Dengan demikian, Pasal 8 UU Pers tidaklah multitafsir,” tegas Fifi, sebagaimana dikutip dari laman resmi MK, Senin (6/10/2025).
Perlindungan Wartawan dan Perbandingan Profesi
Pemerintah juga membantah perbandingan yang diajukan Pemohon terkait perlindungan wartawan dengan profesi advokat, jaksa, atau anggota BPK. Fifi menilai perbandingan tersebut tidak relevan karena profesi wartawan memiliki karakter yang terbuka, independen, dan merupakan bagian dari kebebasan pers.
“Perlindungan hukum bagi wartawan tidak dapat disamakan dengan imunitas profesi lain, karena perlindungan hukum bukan berarti kekebalan hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pemerintah menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi wartawan tidak hanya diatur dalam UU Pers, tetapi juga diperkuat melalui berbagai instrumen hukum lain, seperti Peraturan dan Pedoman Dewan Pers, serta Keputusan Bersama Dewan Pers dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Terkait isu kriminalisasi dengan “pasal karet,” Fifi juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusisebelumnya, salah satunya Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang mempertahankan frasa “tanpa hak” dalam KUHP. MK menilai frasa tersebut penting untuk melindungi kepentingan hukum yang sah, termasuk dalam konteks jurnalistik.
Kesimpulan Pemerintah
Pemerintah menyimpulkan bahwa dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, telah terdapat pranata hukum yang menjamin hak wartawan atas kepastian hukum, perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabat.
“Ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir sebagaimana dinyatakan oleh Para Pemohon,” tutup Fifi.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo ini akan dilanjutkan pada jadwal berikutnya untuk mendengar keterangan lebih lanjut dari pihak terkait.