Kisah Si Pengantar Telur, Melawan Stunting di Utara Karawang
- account_circle Yuda Febrian Silitonga
- calendar_month Rabu, 17 Sep 2025
- Penulis: Yuda Febrian Silitonga

Yuliana (23) berkerudung warna hitam, dan Kasnah (47) berkerudung berwarna oranye adalah Kader Posyandu di Desa Kertasari Kecamatan Rengasdengklok.
Yuliana, dengan senyumnya yang selalu tulus, dan Kasnah, dengan tatapan mata yang hangat dan penuh semangat, adalah pilar bagi desa mereka. Meski berbeda generasi dari umurnya. Setiap bulan, keduanya mengemban misi suci mengantarkan telur untuk balita yang mengalami gagal tumbuh akibat kekurangan gizi atau dikenal dengan stunting.
Misi ini bukan sekadar tugas biasa, melainkan sebuah perjuangan. Jalanan menuju rumah-rumah balita itu sering kali menantang, berlumpur saat hujan dan berdebu saat kemarau. Kuda besi yang ditunggangi Yuliana menjadi saksi bisu dari perlawanan sunyinya, sementara keranjang yang Kasnah bawa dengan hati-hati menyimpan harapan bagi generasi ibu pertiwi.
Siang itu, Rabu (17/9/2025) di halaman belakang kantor Desa Kertasari, dari sebuah bangunan mirip gazebo, Yuliana dan Kasnah mulai bercerita tentang perjalananya melawan stunting.
Di Dusun Krajan B perjalanan dimulai. Awan mendung menggantung tebal. Hujan rintik-rintik mulai turun saat mereka bersiap mengambil telur di Kantor Kecamatan Rengasdengklok. Sebagai penunggang kuda besi, Yuliana melewati jalanan berbatu yang terjal. Telur-telur di keranjang Kasnah bergeser, dan ia harus memegangnya erat-erat agar tidak pecah.
Demi generasi sehat, adalah kekuatan yang membuat mereka terus melangkah. Saat Yuliana merasa lelah, Kasnah akan menyemangatinya dengan cerita-cerita lucu. Sebaliknya, saat Kasnah merasa putus asa melihat kondisi balita stunting yang mereka kunjungi, Yuliana dengan kata-kata motivasi Kasnah seolah menggenggam tangannya.
Sesampainya di zona stunting, mereka bertemu dengan seorang ibu muda yang menunggunya di depan pintu rumah berdinding bilik bambu. 15 butir telur dengan berat kurang lebih 1 kilogram akhirnya berhasil mereka serahkan kepada Iyos balita stunting yang berumur 4 tahun.
Esok hari, awan mendung menggantung tebal. Saat mereka bersiap, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi tanah Dusun Krajan B. Tidak lama kemudian, rintik berubah jadi lebat. Milyaran hidrometeor jatuh menghunjam dusun itu, hingga banjir tak terelakkan. Sementara Yuliana dan Kasnah harus mengantarkan telur kepada sasaran balita stunting kedua, ia bernama Fadli umur 4 tahun dan Ratri balita umur 3 tahun.
Hambatan bukan saja datang dari kuasa Tuhan, melainkan hal sederhana seperti tidak adanya kendaraan. “Jadi bukan banjir aja, kadang ribetnya itu kalau kendaraan saya sama Ibu Kasnah dipake,” ucap Yuliana yang baru memiliki dua anak, sembari menoleh melemparkan senyum kepada Kasnah yang duduk di sampingnya.
Tiba-tiba seorang pria tua datang menghampiri keduanya. Di sela cerita, pria itu menjelaskan tentang Desa Kertasari yang hanya memiliki 3 dusun yaitu Dusun Krajan A, Krajan B dan Tegal Asem, terdiri dari 6 RW (Rukun Warga) dan 15 RT (Rukun Tetangga). Lalu ia melanjutkan, tahun 2019 adalah awal perang melawan stunting dimulai.
Meski dalam perjalanan, pandemi Covid-19 sempat menghentikan segalanya. “Setelah pandemi, tahun 2022 hingga 2023 desa kami mulai bangkit,” kata pria tua bernama H Suhendar yang kini menjabat sebagai Kepala Desa (Kades) Kertasari.
Setahun setelahnya, Yuliana dan Kasnah serta 40 perempuan lainnya menjadi wonder woman versi lokal. Keduanya memiliki misi utama melawan stunting hingga hilang di tanah kelahirannya.
Kisah berlanjut, telur yang di bawa Yuliana dan Kasnah seolah ingin memberikan pesan, dalam setiap perjalan keduanya. Si telur pun seolah ingin berbicara.
Aku ini hanya sebutir telur, salah satu dari sekian banyak yang diletakkan Yuliana dengan hati-hati ke dalam keranjang Kasnah.
Aku mendengar bisik-bisik, melihat gerakan, dan merasakan perjuangan dari dua sosok pahlawan kami, Yuliana dan Kasnah.”
Setiap kali Yulia mengambilku dari keranjang, aku merasa ada sentuhan lembut yang penuh makna. Begitu juga saat Kasnah meletakkanku di keranjangnya, aku tahu, ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah sebuah misi.
Dari dalam cangkangku, aku bisa merasakan setiap goncangan, setiap suara deru mesin kuda besi Yuliana dan setiap langkah Kasnah.
Kami bagai sebuah armada kecil, yang dikemudikan oleh dua perempuan tangguh di tengah lautan jalanan Rengasdengklok yang berlumpur.
Aku mendengar setiap percakapan mereka, tawa mereka saat lelah, dan bisikan semangat saat mereka menghadapi tantangan. “Yul, jangan sampai kita terlambat. Mereka menunggu,” kata Kasnah, suaranya terdengar penuh kepedulian. “Tenang, Kas, selama kita bersama, kita pasti sampai,” jawab Yuliana dengan napas terengah-engah.
Dari dalam sini, aku tahu perjuangan mereka tidaklah mudah. Jalanan yang licin, terjal, dan kadang harus melewati pematang sawah yang sempit. Aku merasa seolah Yuliana dan Kasnah adalah sayap yang melindungi kami dari segala bahaya.
Ketika banjir melanda, aku mendengar helaan napas kekecewaan. Namun, itu hanya sesaat. Aku merasakan tekad yang membara dari mereka. “Kita tidak boleh menyerah,” kata Yuliana tegas.
Mereka mencari jalan lain, melintasi sawah, menyeberangi parit. Aku merasa jantungku berdebar kencang. Setiap kali Kasnah mengangkat keranjang, aku merasa seperti berada di ayunan yang penuh ketegangan. Namun, aku percaya, karena aku tahu kami ada di tangan yang benar. Hingga akhirnya, kami tiba di rumah-rumah yang dituju.
Aku melihat mata-mata berbinar dari anak-anak yang akan menerima kami. Mereka menyambut kami seperti menyambut harta karun. Saat itulah aku mengerti, mengapa Yuliana dan Kasnah berjuang begitu keras.
Kami, telur-telur ini, bukan hanya sekadar makanan. Kami adalah harapan. Kami adalah bukti bahwa di tengah kesulitan, selalu ada kebaikan yang menuntun dari mereka si pengantar. ***